ARTICLE AD BOX

Banyak perempuan di negeri ini dilindungi oleh pasal-pasal yang tegas, namun saat butuh perlindungan nyata, mereka justru terjebak dalam sunyi yang menyakitkan. Di atas kertas, Indonesia tampak serius dalam memperjuangkan hak-hak perempuan. Undang-Undang, peraturan pemerintah, hingga komitmen internasional berserakan menjadi bukti bahwa perempuan, setidaknya secara formal, diakui sebagai subjek hukum yang berhak atas perlindungan yang adil dan setara.
Namun dunia nyata menunjukkan luka yang dalam. Perempuan yang mengalami kekerasan dan pelecehan tidak hanya harus menghadapi pelaku, tetapi juga harus menanggung trauma dari sistem hukum yang lambat, bias, bahkan kadang mengkhianati keberanian mereka untuk bersuara.
Kasus yang baru-baru ini mencuat menjadi gambaran nyata yakni seorang dokter di rumah sakit yang mana seharusnya rumah sakit mejadi tempat yang aman dan penuh kepercayaan dilaporkan melecehkan pasien perempuan yang tengah berada dalam kondisi rentan. Pasien itu datang untuk berobat, membawa kepercayaan penuh kepada tenaga medis yang seharusnya menyelamatkan.
Tapi alih-alih mendapat perawatan, ia justru mengalami pelanggaran atas tubuh dan martabatnya. Tragisnya, kasus ini bukan pertama kalinya terjadi. Dan lebih menyedihkan lagi, respons awal terhadap kasus semacam ini sering kali memperlihatkan pola yang sama: mempertanyakan niat korban, mencari pembenaran untuk pelaku, atau bahkan menekan korban agar berdamai demi "nama baik institusi."
Hukum kita memang melarang kekerasan seksual. Namun di balik teks undang-undang itu, ada jurang menganga antara apa yang tertulis dan apa yang dijalankan. Proses hukum dalam kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan seringkali melelahkan korban lebih dari yang bisa dibayangkan.
Dalam banyak situasi, sep...