Bayangan yang Bertahan di Depan Gerbang

21 jam yang lalu 3
ARTICLE AD BOX
Gambar dibuat oleh aiGambar dibuat oleh ai

Langit sore di Nurul Jadid mungkin masih menyisakan warna yang sama seperti belasan tahun lalu. Biru keperakan, dengan awan yang bergerak pelan seolah tak ingin lekas sampai. Saya membayangkan angin pesisir menelusup masuk ke dalam halaman pesantren, menyapu debu-debu halus dari sandal para santri yang baru pulang mengaji. Aroma tanah yang lembap masih terasa akrab dalam ingatan, meski telapak kaki ini sudah lama tak menginjaknya lagi.

Gerbang wilayah Djalaluddin Ar-Rumi barangkali sudah diganti catnya. Tapi dalam kepala saya, warnanya tetap pudar, sedikit mengelupas di pinggir, seperti lukisan tua yang enggan direstorasi karena takut kehilangan nyawanya. Dulu, gerbang itu bukan hanya pintu masuk ke asrama, tapi juga batas antara dunia yang gaduh dan dunia yang pelan, antara yang fana dan yang ingin kekal.

Saya pernah tinggal di balik gerbang itu. Bersama teman-teman yang sekarang entah di mana, mungkin sudah menjadi guru, pedagang, atau orang biasa yang seperti saya—masih terus belajar, hanya saja bukan dari kitab.

Saya ingin bilang bahwa saya rindu, tapi kata itu sering terdengar terlalu ringan. Yang saya rasakan lebih seperti sejenis kehilangan yang tak sepenuhnya hilang. Ia menetap, menepi di antara pekerjaan, percakapan singkat dengan anak, dan harga tiket bus yang tak lagi semurah dulu. Sudah bertahun-tahun saya tidak sowan ke pesantren, bahkan saat harlah. Bukan karena tak ingat. Bukan pula karena sudah merasa selesai. Justru karena belum selesai, dan barangkali tidak akan pernah.

Pernah beberapa kali saya menyisihkan uang untuk berangkat. Tapi hidup ini punya caranya sendiri untuk mengalihkan arah. Sering kali, uang yang saya simpan itu menemukan tempatnya yang lebih mendesak: kebutuhan sekolah anak, pengeluaran yang tak bisa ditund...

Baca Selengkapnya