Perang Dunia dan Mimpi Distopia: Politik Harapan di Era Ketakutan

5 jam yang lalu 2
ARTICLE AD BOX
 REUTERS/Ronen ZvulunKendaraan perang pengangkut personel militer. Foto: REUTERS/Ronen Zvulun

Ketika dunia sedang gelisah di tengah meningkatnya konflik bersenjata antara Iran dan Israel, pertanyaan tentang masa depan kemanusiaan kembali menggema. Rudal, ancaman nuklir, dan retorika permusuhan yang kian meruncing, kini tak lagi menjadi sekadar isu geopolitik, melainkan ancaman nyata yang membentuk ulang lanskap harapan kolektif umat manusia. Apakah kita masih bisa berharap di tengah retorika kehancuran? Atau haruskah kita menyerah pada gelombang pesimisme yang diproduksi oleh elite kekuasaan dunia?

Politik dan harapan merupakan dua buah kata yang kerap kali dipertentangkan. Seolah, dalam politik, harapan akan dikoyak-koyakkan begitu saja oleh para aktor dan narasi ceritanya. Politik bukanlah tempat yang tepat untuk berharap. Karena politik didesain hanya untuk para ahli siasat, yang bermain catur secara terukur, dengan bersiap diri mengorbankan apa saja yang menjadi bidaknya—jika diperlukan, untuk mencapai tujuan-tujuan pragmatisnya. Politik adalah tempat bagi para realis, yang berkumpul, dan menyusun narasi bagi masa depan yang destopik. Sebagaimana politik adalah rumah besar dimana aktor-aktor kuat seperti Trump, Putin, Jinping, hingga Netanyahu, mengkonstruksi jalan cerita dunia yang semakin ke sini, semakin dipenuhi pesimisme yang menular. Padahal, jika kita mencoba untuk lebih menyelam ke dalam pemikiran para filsuf politik modern, justru kedua kata ini, politik dan harapan, adalah dua keping mata uang yang tak terpisahkan. Keduanya memiliki hubungan yang sangat erat. Dan, secara historis, politik, adalah rumah bagi lahirnya segala harapan yang luhur tentang masa depan yang optimistik.

Unger dan Politik Harapan

Di titik inilah pemikiran Roberto Unger memberi cahaya...

Baca Selengkapnya