Kenapa Proses Putus Cinta Bisa Lebih Menyakitkan dari Hubungannya?

4 jam yang lalu 2
ARTICLE AD BOX
 Nuchylee/ShutterstockIlustrasi perempuan mendengarkan lagu sedih saat patah hati. Foto: Nuchylee/Shutterstock

"Putus cinta." Banyak yang bilang, begitu keluar dari hubungan yang nggak sehat, semuanya akan jadi lebih ringan. Bebas. Lega. Tapi kenyataannya, justru setelah keluar, rasa sakit yang sesungguhnya baru benar-benar terasa.

Aneh memang. Saat masih di dalam hubungan yang penuh tarik-ulur, yang sering kali bikin lelah secara mental, seseorang bisa tetap bertahan. Alasannya kadang sederhana: karena sudah terbiasa. Karena sudah paham pola komunikasinya. Karena tahu kapan harus diam, kapan harus sabar, dan kapan harus pura-pura nggak peduli.

Tapi ketika akhirnya memutuskan untuk pergi, semua kenyamanan semu itu ikut hilang. Nggak ada lagi notifikasi yang ditunggu-tunggu. Nggak ada lagi “kita lagi apa hari ini?” Nggak ada lagi hal-hal kecil yang dulu dianggap biasa, tapi ternyata bikin hari lebih teratur. Dan di situlah rasa sakit yang sebenarnya mulai muncul.

Penyembuhan itu bukan cuma soal memutus hubungan, tapi tentang belajar hidup tanpa orang yang selama ini jadi pusat dari banyak hal. Tentang membiasakan diri tidur tanpa pesan selamat malam. Tentang membangun ulang hidup yang sempat bergantung pada kehadiran seseorang.

Di masa-masa seperti itu, banyak orang mulai menyadari bahwa healing tidak selalu terasa seperti kelegaan yang instan. Healing justru bisa lebih menyakitkan daripada hubungan yang kita tinggalkan. Karena dalam hubungan, kita sering kali menunda rasa sakit yang sebenarnya. Kita menumpuk luka, menyimpannya rapat-rapat karena tak ingin kehilangan.

Tapi ketika hubungan itu usai, semua luka yang tertimbun akhirnya muncul ke permukaan. Proses penyembuhan memaksa seseorang untuk melihat ke dalam. Menyadari bahwa selama ini mungkin terlalu s...

Baca Selengkapnya