Dari Papan Tulis ke Papan Nisan: Ironi Bullying di Sekolah yang Merenggut Nyawa

6 jam yang lalu 1
ARTICLE AD BOX
pixabay.compixabay.com

Kabar duka datang dari Garut, Jawa Barat. Pada 14 Juli 2025, seorang siswa SMA Negeri 6 Garut berinisial PN ditemukan meninggal dunia di rumahnya. Dugaan sementara menyebutkan bahwa ia mengakhiri hidupnya sendiri setelah mengalami tekanan berat akibat bullying, baik dari teman sebaya maupun perlakuan menyakitkan dari oknum guru di sekolah. Tragedi ini mengguncang publik dan menyisakan pertanyaan besar: bagaimana bisa sekolah yang seharusnya menjadi ruang aman justru menjadi sumber luka mendalam?

Fenomena ini bukan kasus tunggal. Ia mencerminkan kegagalan kolektif sistem pendidikan dalam membangun lingkungan yang sehat secara mental dan sosial. Ketika bullying dibiarkan terjadi, bahkan dilanggengkan melalui sikap diam para pendidik, maka sekolah kehilangan fungsinya sebagai tempat pertumbuhan dan perlindungan.

Sekolah Tak Lagi Menjadi Tempat Aman

Selama ini kita mengenal sekolah sebagai “rumah kedua” bagi anak-anak. Namun, ketika dinding kelas menjadi saksi cemoohan, ketika lorong-lorong sekolah menjadi tempat ancaman, dan ketika ruang guru justru membungkam suara korban, maka narasi “rumah kedua” hanya tinggal slogan kosong. Bullying tidak hanya terjadi secara fisik, tetapi juga secara verbal dan psikologis yang seringkali lebih sulit dikenali dan lebih dalam lukanya.

Dalam kasus di Garut, sang korban disebut-sebut sempat dikucilkan, direndahkan, dan bahkan dilabeli “ABK” atau anak berkebutuhan khusus oleh gurunya sendiri di depan kelas. Ini bukan sekadar bullying biasa; ini adalah kekerasan struktural yang dibiarkan berkembang di lingkungan yang seharusnya beradab. Ketika guru dan teman sebaya sama-sama gagal menjadi pelindung, maka korban benar-benar sendirian di tengah hiruk pikuk sistem yang abai.

Sayangnya, banyak sekolah masih menutup mata terhad...

Baca Selengkapnya