Usia yang Enggan Memilih Nama

17 jam yang lalu 2
ARTICLE AD BOX
Gambar dibuat oleh aiGambar dibuat oleh ai

Kadang, sebuah foto bisa terasa seperti cermin yang tiba-tiba diletakkan di depan wajah kita—tanpa aba-aba, tanpa waktu untuk bersiap.

Pagi tadi, seorang teman lama mengunggah foto di status WhatsApp-nya. Ia duduk di atas pembatas beton yang mulai lapuk, seolah tempat itu sudah lama mengenal berat tubuhnya. Ia duduk santai—seperti seseorang yang akrab dengan angin siang dan tatapan matahari. Kulitnya legam, mengilap di bawah sinar yang menyusup di antara daun-daun, membawa kesan hangat yang sulit dibedakan antara milik cahaya atau milik waktu.

Di bawah foto itu, ia menulis caption singkat: memasuki usia kadang dipanggil pak, kadang mas, kadang bang, kadang om.

Sekilas, itu hanya kalimat ringan. Namun di kepala saya, kata-kata itu bergema lebih lama dari yang seharusnya. Ada rasa yang samar, seperti menyadari sesuatu yang sudah kita ketahui sejak lama, tapi jarang benar-benar kita ucapkan. Mungkin, itu karena saya paham betul apa artinya berada di wilayah abu-abu usia, di mana kita tidak lagi sepenuhnya muda, tapi juga belum benar-benar tua.

Persimpangan waktu itu aneh. Tidak ada rambu yang jelas. Tidak ada pesta selamat datang. Hanya ada tanda-tanda kecil—sapaan orang, tatapan di warung, atau perubahan kecil dalam cara orang mengajak bicara. Kadang kita masih dipanggil “mas” oleh anak-anak yang bekerja di minimarket, lalu beberapa jam kemudian, tukang parkir menyapa “pak” dengan nada hormat. Sore hari, seorang keponakan yang sedang tumbuh remaja tiba-tiba memanggil kita “om” dengan canggung. Dan di antara semua itu, ada teman lama yang masih bersikeras memanggil kita “bang” seperti dulu.

Di titik ini saya bertanya pada diri sendiri: Apakah kita benar-benar memilih usia yang kita jalani, ataukah kita hanya berjalan mengikuti p...

Baca Selengkapnya