ARTICLE AD BOX

Ada yang ganjil dari waktu yang kita jalani. Ia tak pernah benar-benar berlalu, juga tak pernah datang sepenuhnya. Dalam epos kehidupan, waktu tampak tak bertuan—berlari cepat tapi kehilangan arah. Dan kita menyebutnya “peradaban”, tapi seringkali yang ditemukan justru kelelahan kolektif, kegelisahan, dan rasa keterasingan di tengah hiruk-pikuk kota yang tak pernah tidur.
Sungguh, ini bukan hendak menebak masa depan seperti para futurolog kawakan semacam Alvin Toffler, John Naisbitt atau Yuval Noah Harari. Bukan. Tapi, mungkin, lebih ingin menggugat waktu kini, yang seakan menumpuk tanya tentang kemajuan yang mengikis kebermaknaan, tentang kecepatan yang menyingkirkan kedalaman, dan tentang pencapaian yang mengaburkan kebahagiaan.
Belum lama saya membaca Byung-Chul Han, filsuf kelahiran Korea yang bermukim di Jerman, ia menulis The Burnout Society, katanya masyarakat kini telah terperangkap dalam “tirani positivitas”—kewajiban untuk produktif, untuk selalu ‘bisa’, untuk terus berlari. Sebuah masyarakat yang, tak lagi dikekang oleh larangan atau represi seperti kata Foucalt, tetapi oleh kebebasan yang dimanipulasi: "I am free, therefore I must." Maka kelelahan bukan karena kerja paksa, melainkan karena manusia memaksa diri sendiri untuk bekerja tanpa henti.
Manusia menyebutnya ambisi. Yang dibungkus dengan slogan-slogan motivasi. Tapi di balik itu, mungkin tanpa sadar manusia sedang mengalami kehilangan yang tak kentara. Kehilangan keheningan, kehilangan momen kontemplatif. Apa yang disebut “kemajuan” ternyata tak serupa dengan “kebermaknaan”. Upaya manusia menaklukkan dunia melalui kerja dan produksi, justru kehilangan dimensi vita contemplativa, hidup yang merenung, yang mengendap, yang perlahan. Sebab, kini ia sudah menjadi