Sejauh Doa dan Sedekat Usaha

2 jam yang lalu 2
ARTICLE AD BOX
Gambar dibuat oleh aiGambar dibuat oleh ai

Sore itu, di kafe kecil yang biasa saya kunjungi, ada sedikit yang tidak biasa. Udara masih hangat dan langit sudah mulai beringsut menuju senja, ketika sebuah paket besar dikirimkan ke salah satu karyawan baru kafe. Paket itu adalah sebuah sepeda listrik, dan perempuan muda yang menerimanya tampak tersenyum seperti anak kecil yang baru mendapat mainan pertamanya. Matanya berbinar, tapi bukan binar yang berisik. Lebih seperti cahaya redup lampu minyak yang menggantung di beranda rumah—tenang dan cukup untuk menerangi apa yang perlu dilihat.

Perempuan itu belum genap seminggu bekerja. Saya belum sempat mengenalnya, tetapi sore itu wajahnya lebih dulu bercerita sebelum ia sempat membuka mulut. Saya duduk cukup jauh dan hanya bisa memperhatikan dari balik gelas kopi yang tinggal setengah. Namun, ada sesuatu dari cara ia menyentuh setang sepeda itu—dengan perlahan, penuh ragu, seolah belum yakin bahwa benda itu benar-benar untuknya—yang membuat saya menunda pulang.

Selepas maghrib, ketika kafe mulai sepi, saya bertanya pada pemilik kafe tentang sepeda itu. Ia menjawab dengan nada datar tapi terdengar tulus, seperti seseorang yang sama sekali tak merasa tengah melakukan kebaikan besar.

“Dia dan suaminya memang tak punya kendaraan,” ujarnya pelan. “Jadi saya pikir, kenapa tidak dibelikan saja sepeda listrik? Nanti dipotong dari gajinya, dicicil pelan-pelan.”

Saya mengangguk, membiarkan jawaban itu tinggal di kepala saya agak lama. Entah kenapa, hal-hal semacam ini justru sering membuat saya merenung. Bukan karena peristiwanya besar, tetapi karena ia datang dalam bentuk yang sederhana dan nyaris tak kelihatan: seseorang yang menerima, seseorang yang membantu, dan di antara keduanya, kehidupan yang perlahan membuka jalannya.

Saya kira kita te...

Baca Selengkapnya