ARTICLE AD BOX

Dari Riau hingga Kalimantan Tengah, hamparan perkebunan kelapa sawit membentang sejauh mata memandang. Menurut data Badan Pusat Statistik (2024), kedua provinsi ini mencakup lebih dari 30% total luas areal perkebunan sawit nasional. Namun di balik statistik produksi dan devisa, terdapat kehidupan manusia yang berlangsung dalam ruang yang penuh ketegangan.
Untuk memahami kondisi ini, kita dapat menggunakan kerangka Plantationocene, sebuah istilah yang pertama kali diperkenalkan oleh Donna Haraway dalam esainya “Anthropocene, Capitalocene, Plantationocene, Chthulucene: Making Kin” (2015), lalu dikembangkan bersama Anna Tsing, Deborah Bird Rose, dan lainnya dalam forum “Anthropologists Are Talking – About the Anthropocene” (2016). Mereka menyebut Plantationocene sebagai era sejarah planet ketika sistem monokultur perkebunan—yang dibentuk melalui kerja paksa, perampasan tanah, dan relasi kolonial—menjadi model dominan bagi hubungan manusia dengan alam. Dalam sistem ini, tanah direduksi menjadi alat produksi, makhluk hidup dikendalikan atau dimusnahkan, dan manusia dijinakkan menjadi tenaga kerja murah.
Konsep ini memperoleh fondasi empiris yang kuat di Indonesia melalui artikel Tania Murray Li berjudul “Indonesia's Plantationocene” (2023). Li menyatakan bahwa Indonesia adalah “kasus penting dari Plantationoc...