Di Balik Tuntutan kepada LMKN: Selayaknya Diperbaiki, Bukan Dibubarkan

2 hari yang lalu 3
ARTICLE AD BOX
 Vershinin89/ShutterstockIlustrasi live musik di Kafe. Foto: Vershinin89/Shutterstock

Sungguh memilukan kabar yang saya baca dari sebuah media daring, di mana Piyu, Ketua Asosiasi Komposer Seluruh Indonesia (AKSI), menyuarakan agar Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) sebaiknya dibubarkan saja. Saya yakin, jika LMKN benar-benar dibubarkan, kerusuhan di panggung industri musik Indonesia akan jauh lebih buruk dari situasi yang berkembang belakangan ini.

Saya cukup mengetahui bahwa memang ada beberapa pihak yang sangat resisten terhadap kehadiran LMKN. Tanpa ingin menuduh mereka sebagai dalang di balik semua ini, pertanyaannya adalah: haruskah harapan mereka untuk melihat industri musik kembali ke era kacau itu tercapai?

Sebagai salah satu pihak yang ikut terlibat dalam pembentukan LMKN, saya teringat kembali pada masa-masa kelam yang terjadi sebelum lembaga ini lahir. Berbagai badan usaha swasta yang menggunakan musik untuk menghibur pelanggannya, seperti tempat karaoke, panggung musik, hotel, dan restoran besar, dibuat resah oleh ketidakpastian. Mereka kerap didatangi oleh berbagai pihak yang menagih royalti musik, sehingga sulit memprediksi berapa nilai kompensasi yang selayaknya harus dialokasikan.

Kekacauan itu adalah alasan mengapa negara mengambil langkah maju. Undang-Undang Hak Cipta Nomor 19 Tahun 2002, yang sudah mengakui Hak Ekonomi pencipta, kemudian disempurnakan oleh Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014. UU yang baru ini membawa banyak perubahan signifikan untuk beradaptasi dengan perkembangan teknologi dan kebutuhan industri. Salah satu terobosan utamanya adalah pembentukan LMKN sebagai jawaban atas kekacauan masa lalu.

Saya tidak akan menyangkal bahwa LMKN hingga saat ini memang belum mampu mengemban tugasnya dengan baik dan bena...

Baca Selengkapnya