ARTICLE AD BOX

Komentar soal warna kulit dari keluarga membuatku kehilangan percaya diri, hingga akhirnya belajar menerima dan mencintai diriku sendiri.
Kok kamu makin item, sih? Nggak mau perawatan?"Kalimat itu terlontar begitu saja dari bibir tanteku saat acara keluarga. Spontan, semua mata tertuju padaku. Kulitku yang sawo matang menjadi bahan tontonan dan ledekan di antara sepupu-sepupuku yang berkulit cerah dan glowing.
Aku hanya tersenyum canggung. Sudah terlalu sering aku mendengar kalimat seperti itu sejak kecil.
Masa Kecil yang Dihapus oleh Warna Kulit
Sejak SD, aku tahu bahwa "cantik" di mata keluargaku punya definisi yang sempit: putih, langsing, rambut lurus. Aku gagal memenuhi semua standar itu. Kulitku lebih gelap karena sering main di luar, badanku biasa saja, dan rambutku ikal sejak lahir.
Setiap lebaran tiba, selalu ada perbandingan:
Coba deh kayak sepupumu itu, kulitnya putih bersih. Kamu kalau cewek harus jaga penampilan.”Aku tumbuh bukan dengan rasa bangga, tapi rasa malu. Aku belajar diam, belajar menerima bahwa aku adalah the least favorite girl di keluarga besar.
Aku lantas mencoba "mengubah diri". Mulai dari beli krim pemutih abal-abal, pakai bedak tebal agar tampak "cerahan", sampai coba-coba suntik vitamin C yang kubaca di internet. Tapi semakin aku berusaha menjadi seperti mereka, semakin aku kehilangan diriku sendiri.
Krim-krim ini justru menyerangku balik. Kulitku jadi iritasi, wajahku bruntusan efek zat berbahaya yang terkandung di dalam krim itu. Menurut Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), sekitar 60...