ARTICLE AD BOX

Bayangkan dunia kita seperti sebuah kapal besar yang terus berlayar tanpa henti. Kita semua sebagai penumpangnya terus menikmati perjalanan, tetapi bahan bakar semakin menipis, mesin mulai aus, dan laut penuh sampah. Ironisnya, sebagian besar penumpang masih asyik berpesta, seakan tak peduli kapal bisa karam kapan saja. Itulah potret peradaban modern: penyakit kronis meningkat, malnutrisi dan kemiskinan tetap menghantui, sementara bumi terus rusak akibat eksploitasi berlebihan.
Selama ini, ekonomi dipuja sebagai mesin kemajuan sehingga pertumbuhan ekonomi dipandang sebagai satu-satunya ukuran keberhasilan. Namun, di balik itu tersimpan jejak ekologis yang mengancam kelangsungan hidup. Pola pikir yang menekankan keuntungan jangka pendek membuat kita abai terhadap keseimbangan alam dan keadilan sosial. Masalah ini jelas bukan sekadar teknis—ia bersumber dari pola pikir, kesadaran, bahkan nilai hidup manusia. Maka, kalau kita bicara solusi, jawabannya bukan hanya teknologi, melainkan transformasi cara berpikir dan cara mendidik generasi mendatang.
Argumentasi tersebut yang menyeruak dalam Disertasi Desi Elvera Dewi di Program Doktor Manajemen dan Bisnis, Institut Pertanian Bogor (IPB) bertajuk “Tranformasi Pendidikan untuk Keberlanjutan guna Memperkuat Kesadaran atas Meaningful Sustainability dan Business-Sustainability Embeddedness”. Disertasi dibimbing oleh Joyo Winoto, PhD. Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) 2005-2012, Prof.Dr. Ir. Noer Azam Achsani, MS dan Dr. Suprehatin, SP, MAB.
Pendidikan bisnis dipertanyakan sebagai hanya pencetak keuntungan dan abai memberi perhatian pada pemimpin bervisi keberkelanjutan. Di sinilah letak persoalannya sehingga p...