ARTICLE AD BOX
Di sebuah grup percakapan daring yang berisi teman-teman karib sejak masa kuliah, suasana diskusi biasanya didominasi pembicaraan seputar konstruksi sipil, berbagai pola canda lucu-lucuan, kebijakan pemerintah, atau kadang hanya sekadar nostalgia masa kuliah. Mayoritas dari kami, termasuk saya sendiri, adalah para sarjana teknik sipil yang kini berkecimpung sebagai pelaku industri dan birokrat di berbagai pelosok Indonesia – bahkan beberapa teman birokrat sudah memasuki masa pensiun. Saya mungkin satu-satunya yang 'menyimpang' jauh ke ranah industri internet. Dengan latar belakang pendidikan dan pengalaman yang beragam ini, saya pikir kami cukup solid dalam membedakan mana yang riil dan mana yang bualan. Nyatanya, tidak.
Suatu sore, salah seorang teman, yang kebetulan berkesempatan menempuh pendidikan lanjutan di salah satu negara maju dalam bidang teknik sipil, membagikan sebuah video di grup. Video itu menampilkan sepasang suami istri lanjut usia yang sedang bercanda dan bermesraan dengan ekspresi yang sangat natural dan mengharukan. Seketika, video itu memicu perdebatan. Beberapa teman percaya bahwa video itu adalah rekaman asli yang tak teredit, sementara yang lain mulai bertanya-tanya, "Jangan-jangan ini buatan AI, ya?"
Saya, yang kebetulan pernah melihat video serupa sebelumnya dan sedikit lebih paham teknis di balik layar internet, segera tertarik pada perdebatan ini. Bukan soal benar atau salahnya, tapi lebih pada bagaimana sebuah video bisa memanipulasi persepsi orang-orang terdidik seperti kami. Setelah mengamati lebih seksama, terutama pada pola suara yang sedikit tidak sinkron dengan gerakan bibir, saya meyakini bahwa video itu adalah hasil kreasi manipulatif dari salah satu aplikasi AI generatif terkini. Dan jujur, jika saya tidak pernah melihatnya sebelumnya dan tidak memperhatikan detail sekecil itu, saya pun mungkin akan 'ketipu' mentah-mentah. Ekspresi dan gerakan pada sosok di video itu begitu lumrah, begitu alami.
Pengalaman ...