Gaji Resmi Tak Cukup: Saat Etika Profesi Tumbang oleh Gaya Hidup Mewah

3 jam yang lalu 1
ARTICLE AD BOX
 Shutter StockIlustrasi gaya hidup mewah. Foto: Shutter Stock

Hari ini, kita hidup di tengah arus zaman yang bergerak cepat dan penuh godaan visual. Media sosial, iklan, dan kehidupan serba instan memaksa banyak orang merasa harus “tampil berhasil” — bukan dengan prestasi atau dedikasi, tapi dengan barang bermerek, kendaraan mahal, atau liburan eksklusif. Celakanya, tekanan semu ini ikut menyeret para profesional yang seharusnya menjadi teladan moral dan sosial.

Tak sedikit orang yang menjabat posisi strategis dalam profesinya — mulai dari aparatur sipil negara, pejabat publik, penegak hukum, jaksa, hingga pegawai lembaga keuangan negara — justru tergoda untuk menyimpang dari jalur etika. Gaji resmi mereka, meski cukup untuk hidup layak, dianggap belum mampu memenuhi ambisi gaya hidup yang ditampilkan oleh lingkungan sekitar. Maka celah pun dibuka: lewat korupsi, gratifikasi, penyalahgunaan wewenang, hingga jual beli pengaruh.

Ketika Profesi Menjadi Alat Kepuasan Diri

Salah satu contoh nyata bisa kita lihat pada seorang pejabat di instansi perpajakan. Secara jabatan, ia memiliki tanggung jawab besar dalam mengawasi penerimaan negara dari sektor pajak. Tapi di balik itu, ia justru menumpuk kekayaan lewat penyalahgunaan kekuasaan. Saat gaya hidup mewah keluarganya tersebar di media sosial—dari mobil rubicon hingga motor gede—barulah terungkap betapa timpangnya antara gaya hidup dan penghasilan resmi yang diterima. Dalam sistem profesinya, ia telah melanggar kode etik yang menuntut integritas, hidup sederhana, dan transparansi kekayaan.

Contoh lain datang dari seorang jaksa wanita yang aktif tampil di ruang publik. Penampilannya selalu elegan, tampil glamor dengan barang-barang mewah yang menjadi pusat perhatian. Namun, siapa sangka di balik itu, ia terlibat dalam skema su...

Baca Selengkapnya